Sakit pikiran

Teori pikiran

Tambah deskripsi judul


Teori pikiran (TP) adalah kemampuan untuk menghubungkan keadaan mental – kepercayaan, intensi, hasrat, berpura-pura, pengetahuan, dan lain-lain kepada diri sendiri dan orang lain dan untuk memahami bahwa orang lain memiliki kepercayaan, keinginan dan intensi yang berbeda dari diri kita sendiri.Kekurangan terjadi pada orang dengan gangguan spektrum autismeskizofrenia, gangguan hiperaktivitas kekurangan atensi (ADHD),  dan juga keracunan-saraf disebabkan penyalahgunaan alkohol.  Walaupun ada pendekatan filosofi terhadap masalah yang diangkat dalam diskusi ini, teori pikiran dalam hal ini berbeda dari filsafat budi.

Definisi

Teori pikiran adalah sebuah teoribahwa pikiran tidak dapat langsung diobservasi.  Anggapan bahwa orang lain memiliki suatu pikiran diistilahkan teori pikiran karena setiap manusia hanya dapat mengintuisi keberadaan dari pikirannya sendiri lewat introspeksi, dan tidak ada orang lain yang memiliki akses langsung terhadap pikiran orang lain. Secara tipikal diasumsikan bahwa orang lain memiliki pikiran dengan analogi yang seseorang miliki, dan berdasarkan interaksi sosial alami timbal-balik, sebagaimana yang diobservasi dalam atensi bersama, penggunaan fungsi bahasa, dan memahami emosi dan aksi orang lain.  Memiliki teori pikiran membuat seseorang mengatribusikan pemikiran, hasrat, dan intensi kepada orang lain, untuk memperkirakan atau menjelaskan aksi mereka, dan untuk menempatkan intensi mereka. Dalam arti aslinya, ia membuat seseorang untuk memahami bahwa keadaan mental dapat menjadi penyebab – yang digunakan untuk menjelaskan dan memperkirakan – perilaku orang lain.  Kemampuan mengatribusikan keadaan mental terhadap orang lain dan memahaminya sebagai penyebab perilaku menandakan, sebagian, bahwa seseorang harus dapat memahami pikiran sebagai “pembangkit representasi”.  Jika seseorang tidak memiliki teori pikiran yang komplet ia mungkin menandakan gangguan kognitif atau perkembangan.

Teori pikiran muncul sebagai potensi kemampuan lahiriah pada manusia, tapi membutuhkan pengalaman sosial dan pengalaman lainnya selama beberapa tahun sampai menghasilkan sesuatu. Orang yang berbeda bisa saja membentuk teori pikiran yang lebih, atau kurang, efektif. Empati adalah konsep yang berkaitan, yang berarti mengenali dan memahami teori pikiran lewat pengalaman, termasuk kepercayaan, hasrat dan terkadang emosi orang lain, sering dikarakterkan sebagai kemampuan untuk “menempatkan diri sendiri di posisi orang lain.” Kajian terbaru dari neuro etologis perilaku hewan, menyarankan bahkan tikus mungkin memperlihatkan kemampuan etikal atau empati. 

Teori perkembangan kognitif Neo-Piagetian menyatakan bahwa teori pikiran adalah hasil dari kemampuan hiperkognitif yang luas dari pikiran manusia untuk mencatat, memonitor, dan merepresentasikan fungsinya sendiri. 

Penelitian terhadap teori pikiran dalam sejumlah populasi yang berbeda (manusia dan hewan, orang dewasa dan anak-anak, perkembangan secara normal dan tidak-khusus) telah tumbuh secara cepat dalam 30 tahun terakhir sejak tulisan Premack dan Woodruff, “Does the chimpanzee have a theory of mind?” (Apakah simpanse memiliki teori pikiran?). Munculnya bidang ilmu neurosains sosial juga telah memulai mengawali debat ini, dengan membayangkan manusia yang sedang melakukan pekerjaan mengharapkan pemahaman dari suatu intensi, kepercayaan atau keadaan mental orang lain.

Laporan alternatif dari teori pikiran dibawakan oleh instrumental psikologi dan memberikan bukti empiris penting bagi fungsi perspektif pembawaan dan empati. Pendekatan instrumental yang paling berkembang dikembangkan dalam penelitian mengenai relasi respon turunan dan digolongkan dalam apa yang disebut, “Teori Kerangka Rasional.” Menurut pandangan tersebut empati dan perspektif bawaan terdiri dari suatu set kompleks dari kemampuan relasional turunan berdasarkan pada pembelajaran terhadap diskriminasi dan respon secara verbal ke relasi yang lebih komplek antara diri sendiri, orang lain, tempat, dan waktu, dan transformasi fungsi lewat relasi yang telah terhubung.   

Akar filosofi

Diskusi kontemporer mengenai TP berakar dari debat filosifis – secara luas, dari saat Descartes Second Meditation, yang membuat dasar untuk mempertimbangkan sains dari pikiran. Yang paling menonjol saat sekarang adalah dua pendekatan berlawanan, dalam literatur filsafat, terhadap teori pikiran: teori-teori dan teori simulasi (TS). Pendukung teori-teori membayangkan sebuah teori yang sesungguhnya – “psikologi tradisional” – yang digunakan untuk berpikir mengenai pikiran orang lain. Teori ini dikembangkan secara otomatis dan lahiriah, walau diinstansiasi lewat interaksi sosial.

Di sisi lain, teori simulasi menyarankan TP bukanlah, pada intinya, teoretis. Menurut ahli teori simulasi, metode utama untuk memahami pemikiran orang lain yang digunakan oleh orang adalah dengan menempatkan dirinya sendiri “dalam sepatu mental” dari orang lain. Ini merupakan suatu ide intuitif secara atraktif yang juga secara eksplisit tercakup dalam “aturan emas” yang hampir semua orang pelajari saat masih anak-anak: “perlakukan orang lain sebagaimana kamu mau diperlakukan”. Dengan kata lain, bayangkan bagaimana kamu mau bereaksi terhadap orang lain melakukan suatu aksi kepada anda sebelum anda melakukan aksi yang sama kepada orang lain. TS mengikutkan tiga langkah: 

  1. Penciptaan dari keadaan berpura-pura untuk menyesuaikan dengan target.
  2. Pemrosesan dari keadaan berpura-pura dengan mekanisme yang sama yang mana si pengatribusi gunakan untuk memahami keadaan mentalnya sendiri.
  3. Penempatan atau “proyeksi” dari keadaan-keadaan tersebut kepada target.

Ada sejumlah catatan berbeda dari TS, tiap-tiapnya bergantung kepada aktivitas saraf cermin. Bisa dikatakan pandangan konsensus adalah hipotesis “pencocokan langsung”. Menurut teori tersebut, saraf cermin secara aktual “mencerminkan” keadaan dari target pada si pengamat. Pencerminan ini mengeluarkan suatu emosi atau intensi yang sama pada si pengamat, yang kemudian secara implisit atau eksplisit diproyeksikan terhadap target. Si pengamat kemudian menyimpulkan makna atau intensi dari target menggunakan informasi tersebut.   

Sebuah alternatif dari teori simulasi telah diajukan, hipotesis “pemodelan terbalik”. Menurut pandangan ini, aksi-aksi dari saraf cermin mensimulasikan tujuan yang diharapkan dari suatu aksi terlebih dahulu. Setelah simulasi motor ini, si pengamat menggunakan kemampuan konseptualnya untuk menyimpulkan intensi dari aksi.  Dengan model ini, peran dari saraf cermin adalah sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk menerka makna dari perilaku intensional dengan menghasilkan sebuah model dari perilaku tersebut dalam konteks untuk membantu pemahaman.

Teori simulasi lain yang mencoba untuk mencatat saraf cermin kongruen yang lebih luas adalah teori pemodelan respon. Teori ini mengajukan bahwa fungsi dari saraf cermin dalam kognisi sosial adalah tidak sepenuhnya “mencerminkan” aksi dari target. Melainkan, fungsinya yaitu untuk secara instan mempersiapkan suatu aksi komplementer sebagai respon terhadap target. Mereka secara dinamis menggabungkan aksi observasi dengan aksi eksekusi. Daya pendorong dari pandangan ini adalah penemuan bahwa saraf cermin pada kenyataannya lebih aktif saat menyiapkan bagi suatu aksi komplementer daripada aksi imitatif.   Dengan kata lain, fungsi dari beberapa saraf cermin adalah untuk secara langsung mengantisipasi dan menyiapkan suatu respon terhadap aksi yang diobservasi.

Dua jenis tambahan dari simulasionisme telah diajukan. Salah satu versi (Alvin Goldman) menekankan bahwa seseorang harus mengenali keadaan mental sendiri sebelum melekatkan keadaan mental kepada orang lain secara simulasi. Versi kedua dari teori simulasi mengajukan bahwa setiap orang mengetahui pikiran dia dan orang lain lewat apa yang Robert Gordon  namakan suatu logika kenaikan rutin, yang menjawab pertanyaan tentang keadaan mental dengan mengubah kata dari pertanyaan sebagai sebuah pertanyaan metafisik. Sebagai contohnya, jika Zoe bertanya pada Pam, “Apakah kamu pikir anjing itu mau bermain denganmu?”, Pam akan bertanya pada dirinya sendiri, “Apakah anjing itu mau bermain dengan saya?” untuk menentukan respon dari dia sendiri. Pam bisa saja menanyakan pertanyaan tersebut untuk menjawab pertanyaan dari apa yang Zoe mungkin pikirkan. Keduanya memegang bahwa orang-orang secara umum memahami satu sama lain dengan mensimulasikan berada dalam sepatu orang lain.

Salah satu perbedaan antara kedua teori yang telah mempengaruhi pertimbangan psikologis dari TP adalah bahwa teori-teori menjelaskan TP sebagai proses teoretis yang terpisah bahwa ia adalah fitur lahiriah, sedangkan teori simulasi memotret TP sebagai sejenis pengetahuan yang membolehkan seseorang membuat suatu prediksi dari keadaan mental seseorang dengan menempatkan dirinya sendiri di dalam posisi orang lain dan mensimulasikannya. Teori-teori tersebut terus menginformasikan definisi dari teori pikiran dalam jantung investigasi ilmiah TP.

Baru-baru ini laporan lain mengenai kemampuan kita untuk mengetahui pikiran orang lain telah diajukan. Sebagai contohnya, teori terbaru yang dibela oleh Shaun Gallagher, teori interaksi (TI), menolak interpretasi standar sebagai seluruhnya “mental”. Dalam teori interaksi, pikiran orang lain secara langsung diterima selama terjadi intersubjektif. Menurut TI, sangat sedikit mentalisasi terjadi dalam interaksi keseharian kita. Bukannya pertama kali menangkap aksi dari orang lain dan kemudian menyimpulkan makna dari aksi mereka, makna dari yang ditujukan adalah secara otomatis muncul selama persepsi. Menyembunyikan keadaan mental seperti “percaya” dan “keinginan” adalah kemudian tidak diperlukan untuk menjelaskan perilaku. Kita dapat melihat makna dari perilaku mereka lewat aksi dan pergerakan ekspresif mereka. Sebagai contohnya, saat melihat muka marah, si pengamat pertama kali tidak melihat sebuah muka yang berkerut menjadi berwajah suram dan kemudian menyimpulkan bahwa target adalah dalam keadaan marah. Marah itu sendiri secara langsung muncul pada wajah. Mayoritas banyaknya dari interaksi dalam kehidupan keseharian kita adalah antar-muka jadi masuk akal bahwa cara utama kita dalam memahami satu sama lain yaitu dari perspektif orang kedua bukan dari perspektif objektif, teoretis, orang ketiga.

“Dalam kebanyakan situasi intersubjektif, yaitu, dalam situasi interaksi sosial, kita memiliki sebuah persepsi pemahaman langsung terhadap intensi orang lain karena intensi mereka secara eksplisit diekspresikan dalam bungkusan aksi mereka dan perilaku ekspresif mereka. Pemahaman ini tidak membutuhkan kita mempostulasi atau menyimpulkan suatu kepercayaan atau suatu keinginan di dalam pikiran orang lain. Apa yang mungkin kita sebut secara reflektif atau abstrak sebagai kepercayaan atau keinginan mereka diekspresikan secara langsung dalam aksi dan perilaku mereka.” 

Kemampuan ini telah diistilahkan dengan “intersubjektif primer” dan mengikutkan emosi, indra motorik, persepsi, dan latihan-latihan non-konseptual yang diperlihatkan oleh anak-anak pra-linguistik.  Ia dianggap “primer” karena dua alasan:

  1. Secara ontogenetis ia merupakan kemampuan intersubjektif yang awal muncul pada anak-anak, dan
  2. bahkan pada masa dewasa ia tetap merupakan kemampuan esensial yang paling kita gunakan dalam berinteraksi dan memahami yang lain.

Kemampuan tersebut adalah multimodal dan non-konseptual, yang terbukti dalam eksperimen-eksperimen terkenal menyangkut imitasi neonate.  Dalam eksperimen tersebut neonateberumur beberapa menit dan tidak memiliki kemampuan konseptual; namun neonate dapat mengimitasi ekspresi wajah yang lain, yang merupakan proses multimodal yang membutuhkan suatu koneksi non-konseptual antara stimulus visual dan konfigurasi wajah dari neonate sendiri.

Lebih lanjut, fakta bahwa kebanyakan interaksi terjadi dalam konteks kerjasama membawa ke “intersubjektif sekunder”. Selama interaksi, intensi jelas terlihat berdasarkan konteks pragmatis dari situasi tempat ia terjadi. Kita dapat secara langsung melihat apa yang lain “maksud” atau “ingin”-kan berdasarkan aksi mereka dan konteks yang berlangsung; kita tidak perlu menyimpulkan intensi mereka sebagai hal yang disembunyikan.  Ada suatu “dunia berbagi” tempat kita hidup, di mana kita secara intuitif dan secara instingtif menangkap yang lain sebagai mahluk berpikiran seperti diri kita. Dan Zahavimenyebutkan sentimen ini saat dia menulis, “bukannya kita pertama melihat objek tidak bergerak dan menggerakan mereka lewat komponen-komponen mental tambahan selanjutnya. Melainkan, saat pertama kali kita melihat semuanya sebagai ekspresif, dan kemudian kita melalui sebuah proses tidak-menggerakan.” 

Asumsi intuitif yang orang lain pikirkan merupakan suatu tendensi nyata yang kita semua miliki. Kita mengantropomorfismekan hewan selain manusia, objek diam, dan bahkan fenomena alami. Daniel Dennett menunjuk kepada tendensi ini sebagai melakukan suatu “posisi intensional” terhadap segala sesuatu: kita mengasumsikan mereka memiliki intensi, untuk membantu memprediksi perilaku selanjutnya.  Namun, ada suatu perbedaan penting antara melakukan suatu “posisi intensional” terhadap sesuatu dan memasuki suatu “dunia berbagi” dengannya. Posisi intensional adalah suatu teori terpisah dan fungsional yang kita dapatkan selama interaksi interpersonal. Dunia berbagi secara langsung ditangkap dan keberadaannya membangun realitas itu sendiri bagi si pengamat. Ia tidak secara otomatis diterapkan pada persepsi; ia, dalam berbagai cara, membentuk persepsi.

Akar filosofi dari Teori Kerangka Relasional (TKR) dari TP muncul dari kontekstual psikologi dan mengacu pada kajian organisme (manusia dan bukan manusia) yang berinteraksi dalam dan dengan konteks situasi sekarang dan historis. TKR adalah suatu pendekatan berdasarkan pada kontekstualisme, suatu filosofi yang melihat setiap kejadian diinterpretasikan sebagai suatu aksi berkelanjutan tak terpisahkan dari konteks sekarang dan sejarahnya yang mengadopsi pendekatan fungsional radikal terhadap kebenaran dan makna. Sebagai variasi dari kontekstualisme, TKR fokus pada konstruksi pengetahuan praktis, ilmiah. Bentuk ilmiah dari psikologi kontekstual ini bersinonim dengan filosofi psikologi instrumental. 

Perkembangan

Penelitian tentang hewan yang mampu mengatribusikan pengetahuan dan keadaan mental terhadap hewan lain, sebagaimana pada manusia kemampuan ontogeni dan filogeni berkembang, telah mengidentifikasi sejumlah perilaku awal terhadap teori pikiran. Memahami atensi, memahami intensi orang lain, dan pengalaman meniru orang lain adalah ciri khas dari teori pikiran yang bisa diobservasi lebih awal dalam perkembangan dari apa yang nantinya menjadi teori yang utuh. Dalam penelitian terhadap hewan selain-manusia dan manusia pra-verbal, secara khusus, para peneliti melihat keistimewaan perilaku-perilaku tersebut dalam membentuk interferensi mengenai pikiran.

Simon Baron-Cohenmengidentifikasi pemahaman atensi bayi terhadap orang lain, kemampuan sosial yang ditemukan pada umur 7 sampai 9 bulan, sebagai “prekursor kritikal” terhadap perkembangan teori pikiran.  Memahami atensi mengikutkan pemahaman bahwa melihat dapat diarahkan secara selektif sebagai atensi, bahwa yang melihat menilai objek yang terlihat sebagai “yang menarik”, dan bahwa melihat dapat menyebabkan kepercayaan. Atensi dapat diarahkan dan dibagi dengan aksi menunjuk, perilaku atensi bersama yang membutuhkan mempertimbangkan keadaan mental orang lain, khususnya apakah seseorang mengenali suatu objek atau menemukannya menarik. Baron-Cohen menspekulasi bahwa kecenderungan untuk secara spontan menunjuk suatu objek dalam dunia sebagai suatu ketertarikan (“menunjuk proto-deklaratif”) dan juga mengapresiasikan atensi yang diarahkan dan ketertarikan orang lain mungkin saja mendasari motif di balik semua komunikasi manusia.

Memahami intensi orang lain adalah prekursor kritikal lain untuk memahami pikiran orang lain karena secara intensionalitas, atau “mengenai”, adalah suatu fitur fundamental dari keadaan mental dan kejadian. “Kedudukan intensional” telah diartikan oleh Daniel Dennet  sebagai suatu pemahaman bahwa aksi orang lain diarahkan oleh tujuan dan timbul dari hasrat dan keinginan tertentu. Anak 2 dan 3 tahun dapat membedakan saat penguji secara sengaja vs. tak sengaja menandai suatu kotak sebagai umpan dengan stiker.  Bahkan pada awal ontogeni, Andrew N. Meltzoffmenemukan bahwa bayi umur 18 bulan dapat melakukan manipulasi target yang mana penguji dewasa cobakan dan gagal, hal ini menyiratkan bayi dapat mewakili perilaku manipulasi-objek dari orang dewasa yang mengikutkan tujuan dan intensi.  Bila atribusi dari intensi (penandaan kotak) dan pengetahuan (pekerjaan kepercayaan-palsu) diinvestigasi pada manusia muda dan hewan selain-manusia untuk mendeteksi prekursor untuk teori pikiran, Gagliardi dkk. menunjukkan bahwa bahkan manusia dewasa tidak selalu berperilaku konsisten dengan perspektif atribusional. Dalam percobaan, subjek manusia dewasa disuruh memilih wadah umpan yang dipandu oleh teman yang tidak dapat melihat (dan juga, tidak mengetahui) wadah mana yang menjadi umpan.

Penelitian terbaru pada psikologi perkembangan menyatakan bahwa kemampuan bayi untuk meniru orang lain berada pada asal mula teori pikiran dan pencapaian sosial-kognitif seperti memperoleh-perspektif dan empati.  Menurut Meltzoff, pemahaman lahiriah bayi bahwa orang lain adalah “seperti saya” membuatnya mengenali persamaan antara keadaan fisik dan mental yang ada pada orang lain dan yang dirasakan oleh diri sendiri. Sebagai contohnya, bayi menggunakan pengalamannya sendiri mengarahkan kepala/matanya pada objek yang menarik, untuk memahami pergerakan orang lain yang mengarah kepada objek, yaitu, bahwa secara umum mereka akan mengikuti objek yang menjadi perhatian atau yang berkepentingan. Beberapa peneliti dalam disiplin perbandingan menolak menempatkan berat terlalu berlebihan pada imitasi sebagai prekursor kritikal terhadap perkembangan kemampuan sosial-kognitif manusia seperti mentalisasi dan berempati, khususnya jika imitasi yang sebenarnya tidak digunakan lagi oleh orang dewasa. Pengujian tentang imitasi oleh Alexandra Horowitz  menemukan bahwa orang dewasa meniru penguji mendemonstrasikan pekerjaan yang baru jauh lebih mirip daripada yang anak-anak lakukan. Horowitz menjelaskan bahwa keadaan psikologis yang tepat mengenai imitasi adalah tidak jelas dan tidak dapat, secara sendirinya, digunakan untuk mengambil kesimpulan tentang keadaan mental manusia.

Investigasi empiris

Apakah anak yang lebih muda dari 3 atau 4 tahun mungkin memiliki teori pikiran adalah suatu topik debat antara para peneliti. Ia merupakan pertanyaan yang menantang, dikarenakan sulitnya menilai bagaimana anak pra-linguistik memahami tentang orang lain dan dunia. Pekerjaan-pekerjaan yang digunakan dalam penelitian terhadap teori pikiran harus memperhatikan umwelt—kata dari bahasa Jerman Umwelt yang berarti “lingkungan” atau “dunia sekitar”) — dari anak-anak pra-verbal. [butuh klarifikasi]

Pengujian Kepercayaan-keliru

Salah satu tonggak penting dalam perkembangan teori pikiran adalah memperoleh kemampuan untuk mengatribusikan kepercayaan keliru: yaitu, untuk mengenali bahwa orang lain memiliki kepercayaan tentang dunia yang berbeda. Untuk melakukan hal ini, disarankan, seseorang harus memahami bagaimana pengetahuan terbentuk, bahwa kepercayaan seseorang didasarkan pada pengetahuan mereka, bahwa keadaan mental dapat berbeda secara realitas, dan bahwa perilaku orang dapat diprediksi dengan keadaan mentalnya. Berbagai versi dari pengujian kepercayaan-keliru telah berkembang, berdasarkan pada pengujian awal yang dilakukan oleh Wimmer dan Perner (1983). 

Dalam versi umum dari pengujian kepercayaan-keliru (sering disebut juga dengan “Percobaan Sally-Anne”), anak-anak diceritakan atau diperlihatkan suatu kisah yang mengikutkan dua karakter. Sebagai contohnya, anak diperlihat dua boneka, Sally dan Anne, yang masing-masing memiliki sebuah keranjang dan sebuah kotak. Sally juga memiliki sebuah kelereng, yang disimpannya di dalam keranjang, dan pergi meninggalkan ruangan. Saat dia keluar dari ruangan, Anne mengambil kelereng dari keranjang, dan menyimpannya di dalam kotak. Sally kembali, dan kemudian anak-anak ditanya di manakah Sally akan mencari kelereng. Anak akan lulus pengujian tersebut jika dia menjawab bahwa Sally akan melihat ke dalam keranjang, tempat dia menaruh kelereng; anak gagal dalam percobaan jika dia menjawab bahwa Sally akan melihat ke dalam kotak, walaupun si anak tahu tempat kelereng disembunyikan, walaupun Sally tidak tahu, karena dia tidak melihatnya disembunyikan di sana. Supaya lulus dari pengujian, anak harus dapat memahami bahwa representasi mental orang lain terhadap situasi adalah berbeda dari milik mereka sendiri, dan si anak harus dapat memprediksi perilaku berdasarkan pemahaman tersebut. Hasil dari penelitian berdasarkan pengujian kepercayaan-keliru secara wajar konsisten: kebanyakan anak yang berkembang normal tidak lulus tes sampai pada umur sekitar empat tahun. (Terutama, bila kebanyakan anak-anak, termasuk mereka dengan Sindrom Down, mampu lulus dalam tes ini, dalam salah satu pengujian, 80% dari anak-anak yang didiagnosa dengan autismetidak mampu melakukan hal tersebut.) 

Pengujian penampilan-realitas

Tes lain telah dikembangkan untuk mencoba menjawab permasalahan yang melekat dalam pengujian kepercayaan-keliru. Dalam pengujian “penampilan-realitas”, atau “Smarties”, penguji bertanya pada anak apa yang mereka percaya terhadap isi dari sebuah kotak sambil memegang sebuah permen bernama “Smarties”. Setelah si anak menebak (biasanya) “Smarties”, setiap mereka diperlihatkan bahwa kotak tersebut sebenarnya berisi pensil. Penguji kemudian menutup kotak dan menanyakan pada si anak apa yang mereka kira orang lain, yang belum diperlihatkan isi sebenarnya dari kotak, pikir tentang isi kotak. Si anak akan lulus tes tersebut jika dia merespon bahwa orang lain akan berpikir bahwa ada “Smarties” di dalam kotak, namun gagal bila mereka merespon bahwa orang lain akan berpikir bahwa kotak berisi pensil. Gopnik & Astington (1988)  menemukan bahwa anak lulus dalam tes saat berumur empat atau lima tahun.

Pengujian lainnya

Pengujian “Fotografi-keliru”  yaitu pengujian lain yang bertujuan sebagai pengukuran terhadap teori pikiran. Dalam pengujian ini, anak-anak harus memberikan jawaban tentang apa yang direpresentasikan dalam sebuah foto yang berbeda dengan keadaan sekarang. Selama pengujian fotografi-keliru, terdapat perubahan lokasi atau identitas. Dalam test perubahan-lokasi, si anak diberitahu sebuah cerita tentang suatu karakter yang menaruh suatu objek di satu lokasi (misalnya, coklat di dalam lemari hijau) dan mengambil foto Polaroid dari tempat tersebut. Saat foto sedang dibuat, si objek dipindahkan ke lokasi berbeda (misalnya, ke lemari biru). Si anak kemudian diajukan dua pertanyaan kontrol, “Saat kita mengambil gambar pertama, di mana si objek? Di manakah si objek sekarang?”. Subjek juga diajukan pertanyaan fotografi-keliru, “Di manakah si objek di dalam gambar?” Anak akan lulus tes jika secara benar mengidentifikasi lokasi dari objek dalam gambar dan lokasi sebenarnya dari objek pada saat pertanyaan diajukan.

Supaya pengujian dapat lebih diterima oleh hewan lain, anak yang lebih muda, dan individu yang autis, peneliti teori pikiran telah memulai menggunakan paradigma tak-verbal. Salah satu kategori pengujian menggunakan paradigma melihat preferensial, dengan melihat waktu sebagai variabel tersendiri. Sebagai contohnya, Woodward [kutipan diperlukan] menemukan bahwa bayi 9 bulan lebih menyukai melihat pada perilaku yang dilakukan oleh tangan manusia daripada objek yang berbentuk seperti tangan. Paradigma lain melihat pada tingkat perilaku imitatif, suatu kemampuan untuk meniru dan menyelesaikan pekerjaan yang belum selesai, dan observasi dari tingkat sandiwara bermain. 

Prekursor awal

Penelitian terbaru mengenai prekursor awal dari Teori Pikiran telah melihat cara-cara inovatif untuk menggambarkan pemahaman pralinguistik bayi terhadap keadaan mental orang lain, termasuk persepsi dan kepercayaan. Menggunakan sejumlah variasi prosedur-prosedur eksperimentasi, penelitian telah menunjukkan bahwa bayi pada tahun kedua hidupnya memiliki pemahaman implisit apa yang orang lain lihat dan apa yang mereka ketahui.. Sebuah paradigma terkenal yang digunakan untuk meneliti teori pikiran bayi adalah pelanggaran dari prosedur ekspektasi, yang menyebutkan tendensi bayi untuk melihat lebih lama pada kejadian-kejadian yang tak diharapkan dan mengejutkan dibandingkan pada kejadian-kejadian biasa dan diharapkan. Oleh karena itu, perhitungan lama waktu mereka melihat memberikan para peneliti suatu indikasi tentang apa yang bayi mungkin simpulkan, atau pemahaman implisit mereka terhadap kejadian. Salah satu penelitian terbaru menggunakan paradigma ini menemukan bahwa bayi 16 bulan condong mengatribusikan kepercayaan pada seseorang yang persepsi visualnya sebelumnya disaksikan sebagai “dipercaya” dibandingkan kepada seseorang yang persepsi visualnya “tidak dipercaya”. Secara khusus, bayi 16 bulan dilatih untuk menduga vokalisasi senang dan memandang kepada kotak untuk dihubungkan dengan menemukan sebuah mainan dalam kondisi tepercaya si pemandang atau tidak adanya mainan pada kondisi tak-percayanya si pemandang. Setelah fase pelatihan tersebut, bayi menyaksikan, dalam pengujian pencarian-benda, orang yang sama masing-masing mencari mainan di lokasi yang tepat atau tidak tepat setelah mereka berdua menyaksikan lokasi tempat mainan disembunyikan. Bayi yang mengalami pandangan percaya tercengang dan makanya melihat lebih lama saat orang tersebut mencari mainan di lokasi yang salah dibandingkan lokasi yang tepat. Sebaliknya, lama waktu melihat pada bayi yang mengalami pandangan tak-percaya tidak berbeda untuk masing-masing lokasi pencarian. Penemuan ini menyarankan bahwa bayi 16 bulan dapat membedakan atribusi kepercayaan tentang suatu lokasi mainan berdasarkan catatan persepsi visual sebelumnya dari seseorang. 

Kekurangan-kekurangan

Kekurangan teori pikiran menjelaskan kesulitan yang dimiliki seseorang dalam memperoleh perspektif. Hal ini terkadang disebut dengan kebutaan-pikiran. Hal ini berarti bahwa individu dengan gangguan teori pikiran akan kesulitan melihat sesuatu dari perspektif orang lain daripada dari mereka sendiri.  Individu yang mengalami kekurangan teori pikiran memiliki kesulitan menentukan intensi orang lain, kekurangan pemahaman tentang bagaimana perilaku mereka mempengaruhi orang lain, dan memiliki kesulitan hubungan timbal-balik sosial.  Kekurangan teori pikiran telah diobservasi pada orang dengan gangguan spektrum autisme, orang dengan schizophrenia, orang dengan gangguan kekurangan atensi, orang di bawah pengaruh alkohol dan narkotik, orang dengan gangguan tidur, dan orang yang mengalami sakit fisik dan emosi yang akut.

Autisme

Militant west Papua News

💫Militan West Papua💫

🌍Militan Papua News :

Demokrasi Kesukuan

Democracy by Human Society for All Communities of Beings

Makittumma

terlantar

The Daily Post

The Art and Craft of Blogging

Mylife-and-Horsestories

My family is everything. My life is full, thankful for my horses they fill my soul!

Substance In Style

inspirational cause-driven fashion art and entertainment

GULU WENDA .ANAK ASLI PRIBUMI WEST PAPUA MEDIA RAKYAT KECIL

kita mediasi penidasan bangsa yang tertingdas?

Papua Hei

Membaca untuk Membangun Papua

psychfitsg

psych*fit

BUNDALOGY

At Home with Maetami & Twins Mainaka

Blog Rahaman

Harta Pusaka-Hibah-Harta Sepencarian-Wasiat

SO-CALLED REVIEWER

■ Movie ■ Series ■ Writing ■ Music ■ Book

bungeko.com

Life is so endlessly delicious...

Hi, Tom!

A Journey Story by Iwan Tantomi

SMK SANZAC

Sabah, Australia, New Zealand Army Corps.

Catatan Violla

Hukum Tata Negara, Hukum Konstitusi, Hukum Pemilu, Hak Asasi Manusia, Penyelenggaraan Pemerintahan

168 Media Blog

Salam Cahaya!

Auana

he wahi e ʻauana wale ai me kēia noʻonoʻo: "ʻo au ana...."

Renungan Katolik

Meresapi dan menghidupi sabda Allah

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai